Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling
di sekolah dilandasi oleh landasan hukum yang berupa undang-undang dan
peraturan. Dengan adanya landasan hukum ini makin mengokohkan pelaksanaan layanan
bimbingan dan konseling di sekolah. Berikut ini beberapa peraturan yang
melandasi pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
1) Di dalam kurikulum 1975 Buku III C
untuk SD, SMP dan SMA telah dibakukan secara operasional pelasanaan Bimbingan
dan Konseling di sekolah demikian pula dalam kurikulum Pendidikan Menengah
Kejuruan 1976 Buku III D.
Di dalam kurikulum tersebut dalam
bab pendahuluan (1.4) berbunyi: Pelaksanaan pendidikan di SD/SMP/SMA bertujuan
mengembangkan siswa secara optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu
melibatkan 3 komponen Pokok yaitu:
a. Program kurikulum yang baik.
b. Administrasi pendidikan yang
lancar
c. Pelayanan bimbingan yang terarah;
disertai dengan sarana dan prasarana yang mamadai.
Ketiga komponen pokok itu merupakan
komponen-komponen yang integral dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
2) SK Mendikbud No 0370/0/1978, untuk SMP,
tanggal 22 Desember 1978, dan SK Mendikbud No. 0371/01978, untuk SMA,
tanggal 22 Desember 1978, menyatakan bahwa fungsi SMP / SMA adalah :
a. melaksankan pendidikan
sesuai dengan kurikulum.
b. melaksanakan Bimbingan dan
Penyuluhan bagi siswa.
c. Melakasanakan urusan tata usaha
dan urusan rumah tangga sekolah.
d. Membinan kerjasama dengan orang
tua siswa dan masayarakat.
3) Kurikulum SMP dan SMA tahun 1984
tentang pelakasanaan bimbingan karir yang terdiri dari 5 paket, paket I
Pemahaman diri, paket II nilai-nilai, paket III pemahaman lingkungan, paket IV
hambatan dan cara mengatasi hambatan, paket V merencanakan masa depan.
4)
Undang-undang pendidikan no 2 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional
menegaskan bahwa :
Pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau
latihan bagi perannya yang akan datang.
Tenaga pendidikan adalah anggota
masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar, dan atau melatih peserta didik.
Pendidikan nasional bertujuan mencerdasarkan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang
maha Esa dan Berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, dan
kesehatan jasmani dan rohani, mandiri seta memiliki rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
5)
Peraturan Pemerintah no 28 tahun 1990, Menurut PP No. 28/1990 Tentang
Pendidikan Dasar Bab X Bimbingan pasal 25 ayat (1) Bimbingan merupakan bantuan
yang diberikan pada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal
lingkungan dan merencanakan masa depan, ayat (2) Bimbingan diberikan oleh guru
pembimbing, ayat (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat 1 dan 2
diatas oleh menteri.
6) (1) dan (2) di atas oleh
menteri.Peraturan Pemerintah No 29 thun 1990 Bab X pasal 27 tentang Sekolah
Menengah: Pasal 27 Ayat (1) Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan pada
siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan
merencanakan masa depan. Ayat (2) Bimbingan diberikan oleh guru pembimbing.
Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan pada siswa dalam rangka upaya
menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan, kalimat
tersebut telah secara langsung memuat pengertaian dan tujuan pokok bimbingan
dan konseling di sekolah.
7) Menurut SK Menpan no 26 tahun 1989
Surat Edaran Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN tanggal 15 Agustus 1989 serta
Surat Edaran Mendikbud tanggal 5 juli 1990 terdapat guru BP dengan latar
belakang yang berbeda-beda:
a. Guru kelas sekaligus sebagai guru
BP
b. Guru bidang studi yang merangkap
guru BP
c. Guru BP yang merangkap sebagai
guru bidang studi
d. Guru BP yang dengan latar
pendidikan no BP
e. Kepala Sekolah yang
sekurang-kurangnya membimbing 40 siswa.
f. Guru yang memiliki minor BP
g. Guru BP yang memiliki ijasah BP.
Mengingat latar belakang yang
berbeda-beda seperti tersebut diatas, maka akan mengahadapi berbagai hambatan
dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah.
8) Menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No 38 Tahun 1992 tanggal 17 Juli 1992 tenaga kependidikan.
Pada bab I pasal 1
Ayat 2 berbunyi: Tenaga pendidik
adalah tenaga kependidikan yang bertugas membimbing, mengajar atau melatih
peserta didik.
Ayat 3 berbunyi: tenaga kependidikan
terdiri atas pembimbing, pengajar dan pelatih.
Pada Bab XI pasal 38 samapai dengan
pasal 47 menyatakan bahwa pembimbing adalah tenaga kependidikan pada TK, SD,
SMP, SMU, SMK, Sekolah Menengah Keagaamaan, Sekolah Menengah Kedinasan, dan
Sekolah Menengah Umum Luar Biasa.
9) SK Menpen No 84/ 1993 tentang jabatan
Fungsional Guru dan Angka kreditnya, pasal 3, tugas pokok Guru adalah :
a.
Menyusun program Pengajaran, menyajikan program pengajaran, evaluasi belajar,
analisis evaluasi hasil belajar, serta menyusun program perbaikan dan pengayaan
terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya. Atau
b. Menyusun Program Bimbingan
Melaksanakan program bimbingan, evaluasi program bimbingan, analisis hasil
pelaksanaan bimbingan dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap
peserta didik yang menajdi tanggung jawabnya.
Pasal 5 butir 2 : Proses belajar
mengajar atau bimbingan meliputi :
a. Melaksanakan proses belajar
mengajar atau praktek atau melaksanakan bimbingan dan konseling. Jadi istilah
bimbingan dan penyuluhan diganti dengan bimbingan dan konseling.
10) SK Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN No 0433/0/1993 dan No 25
tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan atau Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya :
Pasal 1 butir 4, berbunyi Guru
pembimbing adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak
secara penuh dalam bimbingan dan konseling terhadap sejumlah peserta didik.
(butir 10,11,12,13,14) adalah uraian penjelasan tugas pokok guru pembimbing.
SK Menpan No 84/1993, dan SK
Mendikbud no 025/0/1995 : 1). Menyusun program bimbingan, 2). Melaksanakan
program bimbingan, 3). Evaluasi pelaksanaan program bimbingan, 4). Analisis
pelaksanaan bimbingan, 5). Tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap
peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya yang menyatakan bahwa IPBI sejajar
dengan PGRI dan ISPI. Hal ini tercantum dalam pengumuman Menteri Dalam Negeri
taggal 5 Agustus 1994, bahwa IPBI tercantum dalam nomor urut 43 dari 738
organisasi kemasyarakatan.
Standar Prestasi Kerja Guru (menurut
petunjuk pelaksanaan Keputusan Mendikbud dan Kepala Badan Administrasi
Kepegawaian Negara no 0433 P/1993, No 25 tahun 1993 Bab III pasal IV,
menyatakan :
1. Standar prestasi keeja Guru
Pratama sampai dengan Guru Dewasa Tingkat I dalam melaksanakan proses belajar
mengajar atau bimbingan meliputi kegiatan :
a. Persiapan program pengajaran atau
praktek atau bimbingan dan konseling.
b. Penyajian program pengajaran atau
praktik atau bimbingan dan konseling,
c. Evaluasi program pengajaran atau
praktek atau bimbingan atau konseling.
2. Standar prestasi kerja Guru
Pembina sampai dengan Guru Utama selain tersebut pada ayat 1, ditambah:
a. Analisis hasil evaluasi
pengajaran atau praktek atau bimbingan konseling.
b. Penyusunan program perbaikan dan
pengayaan atau tindak lanjut pelakasanaan bimbingan dan konseling.
c. Pengembangan profesi dengan angka
kredit sekurang-kurangnya 12.
3. Khusus Standar kompetensi
prestasi kerja Guru kelas, selain tersebut pada ayat 1) atau ayat 2) sesuai
dengan jenjang jabatannya ditambah melaksanakan program bimbingan dan konseling
di kelas yang menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 5
Ayat 3 : Jumlah peserta didik yang
harus dibimbing oleh seorang guru pembimbing adalah 150 orang.
Ayat 4 : kelebihan peserta didik
bagi guru pembimbing yang dapat diberi angka kredit adalah 75 orang, berasal
dari pelaksanaan program bimbingan dan konseling.
Ayat 7 : Guru pembimbing yang
menjadi Kepala Sekolah wajib melaksanakan bimbingan dan konseling terhadap 40
orang pesrta didik.
Ayat 9 : Guru sebagaimana tersebut
pada ayat 7 yang menjadi wakil Kepala Sekolah wajib melaksanakan bimbingan dan
konseling terhadap 75 orang peserta didik.
11) SK Mendikbud No 025/0/1995
tentang Petunjuk teknis ketentuan pelaksanaan jabatan Fungsional Guru dan
Angka kreditnya, antara lain ( Butir 1, 5a, 5c, 7a, b, d)
Bimbingan dan Konseling adalah
pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun secara
kelompokagar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bidang bimbigan
pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar dan bimbingan karir melalui
berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang
berlaku (jenis layanan ada 7 butir, kegiatan pendukung ada 5 butir).
Butir 5 a: setiap Guru Pembimbing
diberi tugas bimbingan dan konseling sekurang-kurangnya terhadap 150 siswa.
Butir 5 b: pelaksanaan kegiatan
bimbingan dan konseling dapat diselenggarakan di dalam atau luar jam pelajaran
sekolah.
Butir 7 a : setiap kegiatan
penyusunan program, melaksanakan program, mengevaluasi, menganalisis, dan
melaksanakan kegaitan tindak lanjut; kegiatannya meliputi :
a. Layanan Orientasi
Kegiatan layanan orientasi,
konseling perorangan, bimbingan kelompok, dan konseling kelompok dilaksanakan
di luar jam pelajaran sekolah. Kegiatan diluar jam pelajaran sekolah ini dapat
mencapai 50% dari seluruh kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah (SK
Mendikbud No. 25/O/1995)
b. Layanan Informasi
c. Layanan Penempatan dan Penyaluran
d. Layanan Pembelajaran
e. Layanan Konseling Perorangan
f. Layanan Bimbingan Kelompok
g. Layanan Konseling Kelompok
h. Instrumentasi BK
i. Himpunan Data
j. Konferensi Kasus
k.Kunjungan Rumah
l. Alih Tangan Kasus
Waktu kegiatan
: kegiatan layanan dan pendukung dilaksanakan pada jam pelajaran sekolah dan
diluar jam pelajaran sekolah, sampai 50% dari seluruh kegiatan bimbingan dan
konseling, sesuai dengan SK Mendikbud No. 25/O/1995.
Butir 7 b: Kegitan bimbingan secara
keseluruhan harus mencakup bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan
belajar dan bimbingan karir.
Butir 7 d: Kegiatan Bimbingan
Memakan Waktu rata-rata 2 jam tatap muka.
12) Undang-Undang Republik Indonesia no 20 tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan nasional. Bab 1 Tentang Ketentuan Umum. Pasal 1 :
Ayat 1. Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,bangsa dan
Negara. Maka dapat diterima pendapat yang mengatakan bahwa pendidik, di
dalamnya termasuk konselor seyogyanya adalah pribadi-pribadi yang memiliki
ciri-ciri berikut :
1. beriman dan bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa. Ciri ini hendaknya tampil dalam perilaku keseharian seorang
konselor dalam memperlakukan klien dan pengambilan keputusan ketika merancang
pendekatan yang akan digunakan.
2. berpandangan positif dan dinamis
tentang manusia sebagai mahluk spiritual, bermoral, individual dan sosial.
Konselor hendaknya memandang klien bukan sebagai mahluk yang dapat diperlakukan
semena-mena sesuai dengan rasa senang konselor (dianggap permainan).
3. menghargai harkat dan martabat
manusia dan hak asasinya, serta bersikap demokratis. Karakteristik ini menunjuk
kepada suatu perlakuan konselor terhadap klien dengan didasarkan pada anggapan
bahwa klien sama dengan dirinya sendiri sebagai mahluk yang mempunyai harkat
dan martabat mulia. Disamping itu konselor tidak boleh membeda-bedakan
perlakuan kepada klien.
4. menampilkan nilai, norama dan
moral yang berlaku dan beraklak mulia. Karakteristik ini memberikan
gambaran bahwa konselor dituntut selalu bertindak dan berperilaku sesuai nilai,
norma, dan moral yang berlaku. Ciri ini hendaknya tercermin dalam diri konselor
dalam perilaku kesehariannya maupun dalam segala tindakan konseling.
5. menampilkan integritas dan
stabilitas kepribadian dan kematangan emosional. Seorang konselor hendaknya
memiliki kepribadian yang utuh sehingga ia tidak mudah terpengaruh oleh suasana
yang timbul pada saat konseling.
6. cerdas, kreatif, mandiri dan
berpenampilan menarik. Ciri ini sangat diperlukan oleh seorang konselor, sebab
ia harus dapat mengambil keputusan tentang tindakan apa yang seharusny
dilakukan dalam menghadapi klien yang seperti apapun kondisinya. Ia juga harus
dapat menarik hati klien karena banyak klien yang sebelum bertemu dengan
konselor sudah mempunyai pandangan negatif terhadapnya.
Ayat 6.
Standar Kompetensi Lulusan
Keberadaan konselor dalam sistem
pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar
dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator,
dan instruktur (UU RI No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6). Namun sebagaimana
telah diisyaratkan, dalam kesejajaran posisi itu teramati 2 jenis konteks tugas
dan ekspektasi kinerja yang berbeda secara mendasar sehingga masing-masing
merupakan layanan ahli yang unik, yaitu konteks tugas dan ekspektasi kinerja
pendidik yang menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks pelayanan, dan
pendidik yang tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks pelayanan.
Dalam kaitan ini, konselor tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai
konteks pelayanan, tetapi yang menggunakan proses pengenalan diri oleh konseli
sebagai konteks pelayanan, sehingga merupakan layanan ahli yang unik
sebagaimana telah disebutkan, meskipun sama-sama diampu oleh pendidik yang
bertugas dalam jalur pendidikan formal. Oleh karena itu, yang harus diingat
adalah, bahwa pendidik yang tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai
konteks pelayanan itu, harus bekerja bahu-membahu dengan pendidik lain yang
menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks pelayanan, dalam rangka
menghasilkan lulusan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
terwujud sebagai karakter yang kuat, kemampuan dan kebiasaan menghormati
keragaman sebagai ciri khas jati diri individu warga masyarakat yang
memperkokoh integrasi bangsa, serta menguasai hard skills dan soft skills
sehingga mampu hidup produktif dan sejahtera serta peduli kepada kemaslahatan
umum. Ini juga berarti bahwa konteks kerja dan ekspektasi kinerja konselor
tidak dapat digunakan sebagai konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru,
sebagaimana halnya sebaliknya, konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru juga
tidak boleh digunakan sebagai konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
Oleh karena itu, perlu disusun standar kualifikasi akademik dan kompetensi
berdasarkan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor, yang berbeda dari
konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru.
Dengan mempertimbangkan berbagai
kenyataan serta pemikiran yang telah dikaji, dapat ditegaskan bahwa pelayanan
ahli bimbingan dan konseling yang diampu oleh Konselor berada dalam kawasan
pelayanan yang bertujuan memandirikan individu yang normal dan sehat dalam
menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengambilan berbagai keputusan penting
termasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraih serta
mempertahankan karier untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera,
serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum melalui
pendidikan.
Ayat 7. Jalur pendidikan adalah
wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu
proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Konselor pendidikan
adalah konselor
yang bertugas dan bertanggung jawab memberikan layanan bimbingan dan konseling
kepada peserta didik di satuan pendidikan.
Konselor pendidikan merupakan salah satu profesi
yang termasuk ke dalam tenaga kependidikan seperti yang
tercantum dalam Undang-undang
Republik Indonesia
Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan
Nasional maupun Undang-undang tentang Guru
dan Dosen.
13) UU RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta PP Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Penataan yang bersifat sistematik
dilakukan melalui UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
namun konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang berbeda dari
konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru itu, ternyata belum diatur secara
tegas dalam undang-undang tersebut, maupun dalam peraturan pemerintah dan
peraturan-peraturan lain yang diterbitkan berikutnya, sehingga mendorong
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) untuk mengambil prakarsa
untuk menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak
menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks pelayanan, yang pada gilirannya,
juga menuntut penataan secara menyeluruh pula kerangka pikir pelayanan ahli
bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal di tanah air. Untuk
melakukan penataan kerangka pikir yang dimaksud, ABKIN melakukan kajian
akademik yang menyeluruh termasuk terhadap ketentuan perundang-undangan di
tanah air yang hasilnya dituangkan dalam bentuk Naskah Akademik Penataan
Pendidikan Profesional Konselor, yang pengembangannya didukung oleh Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi dan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik
dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional.
Berawal dari naskah akademik
tersebut di atas, dikembangkan sejumlah rambu-rambu terkait dengan
penyelengaraan pendidikan profesional konselor, pendidikan profesional pendidik
konselor, dan penyelengaraan pelayanan bimbingan dan konseling pada jalur
pendidikan formal. Dalam kaitan dengan pendidikan profesional konselor,
penataan dilakukan sesuai dengan amanat UU RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, serta PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Demikianlah, sebagai pendidik, konselor dipersyaratkan memiliki kualifikasi
akademik minimum S-1, sebagaimana halnya pengampu layanan ahli di bidang lain
seperti dokter. Konselor juga dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik S-1,
yang mencerminkan penguasaan kemampuan akademik di bidang bimbingan dan
konseling. Untuk keperluan ini diselenggarakan program S-1 Bimbingan dan
Konseling dengan tujuan memfasilitasi pembentukan kompetensi akademik calon
konselor, yang direpresentasikan dengan Ijazah sarjana pendidikan dengan
kekhususan dalam bidang bimbingan dan konseling. Selanjutnya, sesuai dengan
ketentuan undang-undang, pembentukan penguasaan kemampuan profesional yang utuh
sebagai penyelenggaraan pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang
memandirikan dalam jalur pendidikan formal, juga diselenggarakan pendidikan
profesi berupa latihan menerapkan kompetensi akademik dalam bimbingan dan
konseling, dalam konteks otentik khususnya dalam jalur pendidikan formal. Pada
bagian-bagian berikutnya, dipaparkan rambu-rambu yang wajib diindahkan dalam
penyelenggaraan Pendidikan Profesional Konselor, baik pada tahap pembentukan
kemampuan akademik maupun pada tahap pembentukan kemampuan menyelenggarakan
pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar