Suatu
hari ada orang aneh mendatangi anda. Lalu berucap: “Mau kemana sih, kamu?”,
Gampang. Anda jawab saja: “Saya mau kekantor!”. Atau, “Saya mau kekampus.”
Bilang “kerumah pacar” juga boleh. Pertanyaannya hanya satu; “Mau kemana sih, kamu?”
Tetapi, jawabannya bisa banyak sekali. Sekarang, jawaban mana yang benar? Tidak
seperti soal ebtanas yang menuntut hanya satu jawaban yang benar, pertanyaan
itu memberikan keleluasaan kepada setiap individu untuk menemukan jawabannya
masing-masing. Apakah anda bilang hendak kekantor atau ke kampus, atau kerumah
pacar; itu tidak dipersoalkan. Sebab, orang yang mempunyai tujuan, akan selalu
mempunyai jawabannya. Sedangkan, seseorang yang tidak tahu hendak menuju
kemana, dia pasti tidak bisa menjawabnya.
Saya
baru diingatkan kembali tentang salah satu episode dari Alice in Wonderland,
buah karya legendaris Lewis Carroll. Dalam suatu perjalanan, Alice tiba di
sebuah persimpangan jalan. Jalan yang dilaluinya bercabang menjadi dua. Satu
kekiri, dan satu lagi kekanan. Alice bingung mau mengambil jalan yang mana.
Dalam bimbangnya, ia bertanya kepada Cheshire Cat yang lucu itu; “Would you
tell me please,” katanya “which way I ought to go from here?” Kucing bijaksana
itu menatap wajah Alice. Lalu dia berkata; “That’s depend on a good deal on
where you want to go…” Kata Cheshire Cat. Mendengar nasihat itu, Alice berkata
bahwa dirinya tidak terlalu peduli dengan tujuan. Dan sang kucing kembali
tersenyum, lalu berkata dengan lemah lembut; “Then, it doesn’t matter which way
you go….” Jalan mana yang kamu tempuh – my dear – bergantung kepada tujuanmu.
Kalau
kita nggak tahu kemana tujuan kita, ngambil jalan manapun nggak urusan.
Terserah kita. Itu bukan saya yang bilang. Tapi, si Cheshire Cat. Kalau bangsa
kucing aja bisa bilang begitu; kenapa kita nggak bisa bilangin hal yang sama
buat diri kita sendiri? Kita suka kebingungan kalau berhadapan dengan dua
pilihan. Jadinya hidup kita gamang. Jiwa kita ngambang. Hati kita bimbang.
Nggak bisa bikin keputusan. Ujung-ujungnya kita cuma bengong doang. Nggak
ngambil jalan yang ini. Nggak juga yang itu. Nggak ngambil tindakan ini. Nggak
juga yang itu. Kita jadi pasif. Nggak ngapa-ngapain. Dan tahu- tahu kita nyadar
kalau udah tua. Padahal kita nggak tahu dipake apa aja tuh umur! Begitu, sang
sosok dicermin berkata ketika saya menatapnya.
Sebenarnya,
hal itu tidak perlu terjadi jika saja kita sudah mempunyai jawaban yang jelas
atas pertanyaan dari orang aneh tadi. “Mau kemana sih, kamu?”. Sesungguhnya,
ini bukan sekedar pertanyaan tentang sebuah tindakan. Melainkan tentang misi
hidup kita. Pendek kata, `Mau kemana sih, kamu..’ mengingatkan kita bahwa Tuhan
menciptakan manusia dengan suatu tujuan. Oleh karenanya, setiap manusia yang
dilahirkan memiliki misi hidupnya masing-masing. Kita diajak untuk sadar
tentang tujuan hidup kita. Sebab, tujuan hidup kita akan menentukan tindakan
kita. Jika tujuan hidup kita baik; maka kita akan menjauhi tindakan-tindakan
yang buruk. Tetapi, jika tujuan hidup kita buruk; ngapain kita buang-buang
waktu untuk melakukan tindakan yang baik? Kalaupun kita melakukan kebaikan,
maka itu bertujuan supaya kita bisa menutupi keburukan lain yang kita lakukan.
Topeng. Karena, kebaikan kita pasti tidak didasari oleh niat baik. Mungkin kita
hanya sekedar ingin dipuji orang. Mungkin kita hanya ingin agar orang mencoblos
kita pada pemilihan ketua RT nanti. Apa saja.
Sedangkan
tujuan yang baik memberi kita panduan. Supaya kita tidak melakukan tindakan
yang berlawanan dengan tujuan kita. Jika kita bertujuan baik, kita tidak akan pernah
mau mencemarinya dengan setitik dengki didalam hati. Apalagi merusaknya dengan
tindakan yang merugikan orang lain. Atau hal-hal buruk lainnya. Sebab, seperti
air dan minyak, tujuan baik belum bisa berintim-intim dengan perilaku buruk.
Makanya, jika seseorang lebih banyak berperilaku buruk. Mementingkan dirinya
sendiri. Menghalalkan segala cara; bisa dipastikan bahwa orang itu
mendefinisikan tujuan hidupnya kearah yang buruk. Sebab, jika tujuan mereka
baik; pasti akan tercermin pula didalam sikap, tindak-tanduk, dan lakunya
setiap hari. Pendek kata, tujuan yang kita tentukan memberi arah kepada kita;
atas jalan mana yang harus kita tempuh ketika kita berada disebuah
persimpangan.
Selain
memberi arah, tujuan hidup juga memberi kekuatan jiwa. Jika kita sudah
mempunyai tujuan mulia; maka kesulitan hidup macam apapun yang merintangi,
pasti akan kita hadapi. Jadinya, kita tidak mudah menyerah. Karena kita tahu,
meskipun sulit; tapi itu adalah jalan yang akan membawa kita menuju ke tempat
yang kita tuju. Sedangkan, jalan lain – meskipun kelihatannya indah – bukan
membawa kita ke tempat yang kita cita-citakan. Dengan begitu kita bisa menjadi
pribadi yang tangguh.
Dalam
pekerjaan pun demikian. Jika kita mempunyai tujuan dalam karir atau pekerjaan,
maka kita akan bersedia untuk melakukan banyak hal yang memungkinkan kita
mencapai tujuan itu. Meskipun mungkin itu membutuhkan usaha ekstra. Kesabaran
yang lebih besar. Dan keuletan yang luar biasa. Jika tujuan kita lebih besar
dari orang lain; maka kita tahu dong bahwa usaha yang kita lakukan mestinya
juga lebih berkualitas daripada orang lain. Oleh sebab itu, agak aneh juga ya
kalau kita bercita-cita untuk melampaui pencapaian orang lain, tapi kita
bekerja dengan kualitas dan kuantitas yang sama dengan mereka. Betapa banyak
orang yang ingin sukses dalam karirnya. Ingin menjadi manajer yang hebat. Tidak
jarang juga yang berambisi untuk menjadi direktur secepat kilat. Tapi, mereka
bekerja tidak lebih baik dari teman-temannya. Bahkan, jujur saja; orang lain
banyak yang lebih bersungguh-sungguh dari mereka. Menurut pendapat anda; jika
kesempatan itu memang ada, siapa yang layak mendapatkannya? Tentu adalah orang
yang lebih ulet. Lebih giat. Lebih berdedikasi.
Ada
pertanyaan; Jika kita punya tujuan, belum tentu bisa mencapainya kan? Benar.
Tidak semua orang yang mempunyai tujuan berhasil mewujudkannya. Karena ada
beberapa faktor yang menentukan. Misalnya, kita keburu meninggal. Jika sang
pemilik hidup mengambil hidup kita, mau apa lagi? Terima saja. Lagipula, jika
selama hidup kita sudah dituntun oleh tujuan hidup yang baik, maka pastilah
maut akan membawa kita ke tempat yang lebih baik. Bagaimana kalau kelakuan kita
dikendalikan oleh tujuan hidup yang buruk? Jadi, kematian bukanlah sesuatu yang
mesti kita takutkan.
Lain
ceritanya kalau ketidakberhasilan itu disebabkan karena kita tidak
memaksimalkan kemampuan yang kita miliki. Betapa banyak orang yang sesungguhnya
mempunyai kemampuan tinggi, sekolah tinggi, kesempatan banyak; tapi mereka
tidak memaksimalkannya. Jadi, meskipun cita-citanya tinggi; pencapainnya tetap
rendah. Mengapa? Karena mereka tidak memacu diri untuk mengerahkan semua
potensi diri yang dimiliki.
“Mau
kemana sih, kamu?” bukan pertanyaan yang semata-mata bersifat duniawi. Dia juga
mewakili kepentingan ukhrowi. Pertanyaan itu mengingatkan kita bahwa nanti,
kita ini akan kembali menghadap sang Khalik. Sang pemilik hidup, yang sudah
meminjamkan hidup itu kepada kita. Maka, “Mau kemana sih, kamu?” mengandung
makna; `apa yang akan engkau pertanggungjawabkan kelak ketika engkau kembali
menghadap sang pencipta?’. Bukankah pasti Dia bertanya; “Kita pake apa tuch
kehidupan yang sudah Saya pinjamkan itu?”
Ketika
mendengar seseorang meninggal dunia, Anda bilang: “Saya turut berduka cita.”
Lalu anda berkata: “Semoga arwahnya diterima disisi Tuhan, dan diberikan tempat
baginya disurga….” Itu sebetulnya bukan sekdar do’a. melainkan juga cita-cita
kita. Kita ingin kembali ketempat yang layak di sisi Tuhan kelak. Makanya, aneh
juga ya kita ini. Kita berdoa begitu untuk orang yang meninggal,. Tapi, kita
suka lupa bahwa doa itu hanya akan dikabulkan jika orang yang kita doakan
memang orang baik. Jika dia bukan orang baik; memangnya kita ini sesakti apa
sehingga Tuhan mau mendengarkan doa kita? Apalagi jika doa itu kita ucapkan hanya
sekedar basa-basi belaka. Sebaliknya, orang-orang baik yang meninggal. Meskipun
kita tidak berdoa kepada Tuhan supaya Dia memberinya tempat paling mulia: dia
tetap saja akan mendapatkan tempat mulia itu. Sebab, memang dasarnya dia orang
baik. Dan memenuhi syarat untuk mendapatkan kemuliaan disisin Tuhan.
Lantas,
bagaimana seandainya yang mati itu bukan orang yang kita doakan; melainkan diri
kita sendiri? Apakah doa orang lain akan sanggup merayu Tuhan supaya memberi
kita tempat yang layak? Ataukah, perilaku baik kita selama hidup yang
menentukan? Well, it is worth to reflect when it comes to Mau kemana sih, kamu…